Memahami Aspek Perpajakan Atas Uang Pesangon

uang pesangonPendahuluan

Dalam dunia kerja, kita lazim mendengar istilah Pemutusan Hubungan Kerja atau yang sering disingkat dengan kata PHK.  Di dunia bisnis internasional pun beberapa perusahaan multinasional terpaksa melakukan PHK besar-besaran. Salah satunya yaitu Ford Motor. PHK terjadi akibat penurunan permintaan mobil di Eropa. Selaku produsen kendaraan, kondisi ini membuat Ford Motor harus menutup salah satu pabriknya di Belgia pada 2012, dan melepaskan 4.500 pekerja. (sumber : http://bisnis.liputan6.com)

Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dalam hal terjadi perubahan status, penggabungan, peleburan, atau perubahan kepemilikan perusahaan dan pekerja/buruh tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja, maka pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar satu kali sesuai ketentuan Pasal 156 ayat 2 undang-undang nomor 13 tahun 2003. Lantas, apa penyebab pengusaha melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang ada di Indonesia ? Sesuai dengan pasal 158 undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan dijelaskan bahwa pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dengan alasan pekerja/buruh telah melakukan kesalahan berat sebagai berikut :

  1. Melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan/atau uang milik perusahaan;
  2. Memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan perusahaan;
  3. Mabuk, meminum minuman keras yang memabukkan, memakai dan/atau mengedarkan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya di lingkungan kerja;
  4. Melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja;
  5. Menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman sekerja atau pengusaha di lingkungan kerja;
  6. Membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
  7. Dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan bahaya barang milik perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi perusahaan;
  8. Dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau pengusaha dalam keadaan bahaya di tempat kerja;
  9. Membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya dirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara; atau
  10. Melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.

Pembuktian bahwa pekerja/buruh telah melakukan kesalahan berat harus didukung dengan bukti sebagai berikut:

  1. Pekerja/buruh tertangkap tangan;
  2. Ada pengakuan dari pekerja/buruh yang bersangkutan; atau
  3. Bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak yang berwenang di perusahaan yang bersangkutan dan didukung oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi

Namun Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan:

  1. Pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus-menerus;
  2. Pekerja/buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
  3. Pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;
  4. Pekerja/buruh menikah;
  5. Pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya;
  6. Pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
  7. Pekerja/buruh mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
  8. Pekerja/buruh yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan;
  9. Karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan;
  10. Pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan.

Berdasarkan Pasal 156 Undang-Undang No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan,  dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima oleh karyawan. Komponen upah yang digunakan sebagai dasar perhitungan uang pesangon yang seharusnya diterima terdiri dari upah pokok, dan segala macam bentuk tunjangan yang bersifat tetap yang diberikan kepada pekerja/buruh dan keluarganya. Perhitungan besarnya uang pesangon paling sedikit sebagai berikut :

 
penghitungan pesangon

 

Tabel 1 Penghitungan Pesangon Berdasarkan Masa Kerja sesuai UU Nomor 13 Tahun 2003
Sumber : Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

Sejalan dengan itu, berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 2009 uang pesangon yang diterima atau diperoleh oleh pegawai merupakan Objek Pajak Penghasilan. Dalam peraturan tersebut yang dimaksud dengan uang pesangon adalah penghasilan yang dibayarkan oleh pemberi kerja termasuk Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja kepada pegawai, dengan nama dan dalam bentuk apapun, sehubungan dengan berakhirnya masa kerja atau terjadi pemutusan hubungan kerja, termasuk uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak.

Uang Pesangon yang Dibayarkan Secara Sekaligus atau Dianggap Dibayarkan Sekaligus

Uang pesangon yang diterima atau diperoleh pegawai dikenai pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 bersifat final. Umumnya Pemberi Kerja membayarkan secara langsung uang pesangon saat pemutusan hubungan kerja, namun karena alasan keuangan, pembayaran uang pesangon yang seharusnya dibayarkan sekaligus, dapat dilakukan dalam beberapa kali pembayaran.

Di dalam ketentuan perpajakan, pembayaran uang pesangon apabila dilakukan dalam beberapa kali pembayaran sepanjang dilakukan dalam waktu 2 (dua) tahun kalender, dianggap sebagai pembayaran secara sekaligus, dan dihitung sebagai satu kesatuan untuk pengenaan pajaknya. Atas penghasilan yang dibayarkan sekaligus dikenai pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang bersifat final. Dengan memperhatikan bahwa besarnya uang pesangon dikaitkan dengan masa kerja dan besarnya upah atau penghasilan yang diterima setiap bulan, maka tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dikenai bersifat progresif. Namun untuk memberikan keadilan, kemudahan, dan kepastian hukum bagi Pegawai yang menerimanya, lapisan tarif progresif yang diberlakukan berbeda dengan lapisan tarif yang ditentukan dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan. Besaran tarif pajak penghasilan uang pesangon dapat dilihat dalam gambar berikut ini :

Tarif PPh
Gambar 1 : Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 Atas Pesangon yang dianggap Dibayarkan Sekaligus
Sumber : Diolah Penulis Berdasarkan PP Nomor 149 Tahun 2000 dan PP Nomor 68 Tahun 2009

Contoh Kasus Pemotongan PPh Pasal 21 Atas Uang Pesangon yang Dianggap Dibayarkan Secara Sekaligus

Sudin (ber-NPWP) menerima pembayaran Uang Pesangon yang dilakukan dalam beberapa kali pembayaran, sbb :

a.    Bulan Desember 2013
b.    Bulan April 2014
Rp  50.000.000,00
Rp 125.000.000,00

Pajak Penghasilan Pasal 21 yang harus dipotong:

Bulan Desember 2013
Jumlah penghasilan bruto
Pajak Penghasilan Pasal 21 terutang:
0% x Rp 50.000.000,00

Bulan April 2014
Jumlah penghasilan bruto
Pajak Penghasilan Pasal 21 terutang:
5%   x Rp 50.000.000,00
15% x Rp 75.000.000,00
Jumlah 

= Rp    50.000.000,00
   
= Rp                   0,00

= Rp 125.000.000,00
    
= Rp     2.500,000,00
= Rp   11.250.000,00 (+)
= Rp   13.750.000,00

Jumlah seluruh Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dipotong adalah Rp13.750.000,00. Pemberi kerja wajib melakukan pemotongan PPh Pasal 21 atas pembayaran uang pesangon yang dibayarkan dan memberikan bukti pemotongan PPh Pasal 21 (Final) atas uang pesangon kepada Sudin meskipun dikenai tarif pemotongan 0%.

Uang Pesangon yang Dibayarkan Secara Bertahap
Uang pesangon yang terutang atau dibayarkan bertahap pada tahun ketiga dan tahun-tahun berikutnya, pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dilakukan dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh atas jumlah bruto seluruh penghasilan yang terutang atau dibayarkan kepada pegawai pada masing-masing tahun kalender yang bersangkutan. Apabila Pegawai tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, tarif pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 lebih tinggi 20% (dua puluh persen) daripada tarif yang diterapkan terhadap Pegawai yang dapat menunjukkan Nomor Pokok Wajib Pajak.

Contoh Kasus Pemotongan PPh Pasal 21 Atas Uang Pesangon yang Dibayarkan Secara Bertahap
Agung Budi merupakan pegawai tetap pada PT. Maju Mundur sejak tahun 1980. Pada bulan April 2011, Agung Budi terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Agung Budi menerima pembayaran uang pesangon sebesar Rp. 900 juta yang dibayarkan secara bertahap oleh PT Maju Mundur dengan jadwal pembayaran sebagai berikut:

  1. Bulan April 2011 sebesar   Rp. 250.000.000,00
  2. Bulan Maret 2012 sebesar   Rp. 200.000.000,00
  3. Bulan Januari 2014 sebesar   Rp. 450.000.000,00
Penghitungan PPh Pasal 21 atas uang pesangon yang diterima Agung Budi adalah sebagai berikut :
Bulan April 2011
Jumlah penghasilan bruto
Pajak Penghasilan Pasal 21 terutang:
0%   x Rp 50.000.000,00
5%   x Rp 50.000.000,00
15% x Rp 150.000.000,00
Jumlah

Bulan Maret 2012
Jumlah penghasilan bruto
Pajak Penghasilan Pasal 21 terutang:
15%   x Rp 200.000.000,00

Bulan Januari 2014
Jumlah penghasilan bruto
Pajak Penghasilan Pasal 21 terutang:
5%  x  Rp   50.000.000,00
15%   x  Rp 200.000.000,00
25%   x  Rp 200.000.000,00
Jumlah 

=    Rp 250.000.000,00

=    Rp                    0,00
=    Rp     2.500,000,00
=    Rp   22.500.000,00
=    Rp    25.000.000,00

=    Rp 200.000.000,00
    
=    Rp    30.000,000,00

=    Rp 450.000.000,00
    
=    Rp     2.500,000,00
=    Rp   30.000,000,00
=    Rp   50.000,000,00
=     Rp   82.500.000,00

Pada bulan Januari 2014, pembayaran uang pesangon sudah melebihi dua tahun kalender oleh karena itu, untuk penghitungan PPh Pasal 21 yang dibayarkan pada bulan Januari 2014 menggunakan Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a undang-undang PPh. PPh Pasal 21 yang dipotong tidak bersifat final dan dapat diperhitungkan sebagai kredit pajak pada SPT Tahunan Orang Pribadi.

Uang Pesangon yang Dialihkan kepada Pihak Ketiga
Pada dasarnya kewajiban pembayaran Uang Pesangon dilakukan oleh pemberi kerja kepada pegawainya pada saat terjadi pemutusan hubungan kerja. Namun ada kalanya, kewajiban pembayaran uang pesangon tersebut dialihkan kepada Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja melalui pengalihan dana pesangon secara sekaligus atau secara bertahap atau berkala.

Terdapat dua cara untuk mengalihkan dana pesangon kepada Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja, yaitu dengan mengalihkan pesangon secara sekaligus dan secara bertahap.

Pengalihan dilakukan secara sekaligus
Apabila pemberi kerja mengalihkan uang pesangon secara sekaligus kepada Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja, maka Pegawai dianggap telah menerima hak atas uang pesangon, sehingga pemberi kerja sudah mempunyai kewajiban pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang bersifat final pada saat pengalihan tersebut.

mengalihkan uang pesangon
Gambar 2 : Mengalihkan Uang Pesangon Sekaligus
Sumber : Diolah Penulis Berdasarkan PMK No. 16/PMK.03/2010

Pencadangan dana program pesangon adalah kewajiban pemberi kerja dengan manfaat sesuai Keputusan Menteri Tenaga Kerja yang berlaku. Berdasarkan kepentingannya, pencadangan ini dapat dibedakan menjadi 2 jenis:

  1. Past Service Liability (PSL), yaitu pencadangan atas masa kerja yang lalu;
  2. Future Liability (FL), yaitu pencadangan atas masa kerja yang akan dilalui.

Pemberi kerja dapat membebankan iuran pensiun baik iuran normal bulanan maupun Past Service Liability (PSL) atas nama karyawan yang dibayarkan kepada Dana Pensiun yang telah disahkan oleh Menteri Keuangan sebagai biaya dalam menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak. Sedangkan Pemberi kerja tidak dapat membebankan pembentukan dana cadangan program pesangon dalam perusahaan sebagai biaya dalam menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak.

Pada saat tanggung jawab pembayaran uang pesangon dialihkan kepada yayasan dana tabungan pesangon tenaga kerja, karyawan dianggap telah menerima hak atas manfaat uang pesangon sehingga pemberi kerja wajib melakukan pemotongan PPh Pasal 21 atas uang pesangon sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Bunga atas tabungan uang pesangon merupakan hak karyawan yang akan diberikan oleh yayasan dana tabungan pesangon tenaga kerja kepada karyawan yang terlebih dahulu harus dipotong PPh sbb :

  1. Dipotong PPh Pasal 23 sebesar 15% dari jumlah bruto, dalam hal pengelola dana pesangon adalah bukan bank.
  2. Dipotong PPh Pasal 4 ayat (2) sebesar 20% dari jumlah bruto, dalam hal pengelola dana pesangon adalah bank.

Pada saat Yayasan dana tabungan tenaga kerja membayar uang pesangon kepada karyawan, maka tidak lagi dikenakan pemotongan PPh Pasal 21 karena PPh Pasal 21 telah dikenakan pada saat pengalihan uang pesangon dari pemberi kerja kepada yayasan tabungan pesangon tenaga kerja. Pada saat tanggung jawab pembayaran uang pesangon dialihkan kepada pengelola dana pesangon tenaga kerja melalui pembayaran uang pesangon secara bertahap, pemberi kerja tidak wajib memotong PPh 21 atas pembentukan uang pesangon tersebut.

Pada saat tanggung jawab pembayaran uang pesangon dialihkan kepada pengelola dana pesangon tenaga kerja melalui pembayaran uang pesangon secara sekaligus, karyawan dianggap telah menerima hak atas manfaat uang pesangon, sehingga pemberi kerja wajib memotong PPh 21.

Pengalihan dilakukan secara bertahap
Namun apabila pemberi kerja mengalihkan uang pesangon secara bertahap atau berkala kepada Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja, maka Pegawai dianggap belum menerima hak atas uang pesangon, sehingga pemberi kerja tidak mempunyai kewajiban untuk memotong Pajak Penghasilan Pasal 21 pada saat pengalihan tersebut. Hal tersebut dijelaskan dengan gambar sebagai berikut.

mengalihkan bertahap
Gambar 3 : Mengalihkan Uang Pesangon Secara Bertahap atau Berkala
Sumber : Diolah Penulis Berasarkan PP Nomor 68 Tahun 2009

Contoh Kasus Pemotongan PPh Pasal 21 Atas Uang Pesangon yang dialihkan kepada pengelola dana pesangon dan Dibayarkan Secara Sekaligus
Harnanto merupakan pegawai tetap di PT. Selalu Maju sejak tahun 1950. PT. Selalu Maju pada bulan Agustus 2012, mengalihkan uang pesangon yang menjadi hak Harnanto sebesar Rp. 300 juta secara sekaligus kepada Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja.
Penghitungan PPh Pasal 21 Final atas uang pesangon yang diterima Harnanto adalah sebagai berikut:

Bulan Agustus 2012
Jumlah penghasilan bruto
Pajak Penghasilan Pasal 21 terutang:
0%   x Rp 50.000.000,00
5%   x Rp 50.000.000,00
15% x Rp 200.000.000,00
Jumlah
=    Rp  300.000.000,00

=    Rp                    0,00
=    Rp      2.500,000,00
=    Rp    30.000.000,00
=    Rp     32.500.000,00

Jumlah Pajak Penghasilan Pasal 21 Final yang dipotong oleh PT. Selalu Maju adalah Rp 32.500.000,00. PT. Selalu Maju wajib melakukan pemotongan PPh Pasal 21 atas pembayaran uang pesangon kepada Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja. PT. Selalu Maju juga wajib menyetorkan PPh Pasal 21 yang telah dipotong paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya yaitu pada tanggal 10 September 2012, dan melaporkannya paling lambat 20 September 2012.
Pembayaran uang pesangon dari Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja kepada Harnanto tidak terutang PPh Pasal 21, karena PT. Selalu Maju telah memotong PPh Pasal 21 yang bersifat final atas uang pesangon tersebut ketika dibayarkan secara sekaligus kepada Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja.

Referensi :

  1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
  2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan.
  3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 2009 Tentang Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 Atas Penghasilan Berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, Dan Jaminan Hari Tua Yang Dibayarkan Sekaligus.             
  4. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 16/PMK.03/2010 Tentang Tata Cara Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 Atas Penghasilan Berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, Dan Jaminan Hari Tua Yang Dibayarkan Sekaligus
  5. http://bisnis.liputan6.com/read/553524/10-phk-perusahaan-multinasional-terbesar-di-2012       
Categories: Tax Learning

Artikel Terkait